Thursday, October 15, 2009

Antara Pedagang dan Pemikir


Siri 5.. 
Ketika kita memencilkan diri kita dari masyarakat kerana kita merasa lebih bersih jiwanya, lebih suci hatinya, lebih luas wawasannya, atau lebih cerdik akalnya dari mereka, pada saat itulah kita tidak melakukan sesuatu yang bererti, kerana kita telah memiliki untuk diri kita jalan pintas yang paling sedikit risikonya. Apabila kita sampai pada tingkat kekuatan tertentu, kita sudah mulai merasa tidak ada salahnya minta bantuan orang lain, meskipun sudah mulai merasa tidak ada salahnya minta bantuan orang lain, meskipun orang tersebut lebih rendah kekuatannya dari kita.


Bantuan orang lain kepada kita itu sebenarnya tidak menurunkan nilai kehormatan, kendati pun kita berusaha keras akan menciptakan segala-galanya dengan kekuatan sendiri, dan merasa angkuh meminta bantuan orang lain. Atau sebaliknya, kita memasukkan jerih payah mereka ke dalam jerih payah kita, kerana kita merasa kurang sedap apabila ada orang yang tahu, bahawa berkat bantuan itu kita dapat mencapai kedudukan puncak.

Kita melakukan semuanya itu ketika kepercayaan kepada diri kita tidak besar, yakni ketika kita benar-benar dalam keadaan lemah dalam berbagai segi. Namun ketika kita dalam keadaan kuat benar, kita tidak akan merasakan hal itu semua. Perhatikanlah anak kecil yang berjalan dengan anda, ia selalu berusaha kerasa menyingkirkan tangan anda yang hendak melindunginya, karena ia ingin membuktikan kemampuannya berjalan sendiri.
 

Ketika kita sampai pada kekuatan tertentu, kita akan sambut bantuan orang lain itu dengan semangat terima kasih dan sukacita. Terima kasih atas bantuan yang diberikan, dan suka cita karena masih ada orang yang seiman dengan yang kita imani. Maka ia pun akhirnya berperan serta bersama kita dengan segala macam resiko yang mungkin. Suka cita kerana sambutan dan pertemuan perasaan itu merupakan suka-cita yang tulus dan bebas.

Dalam keadaan lain kita berusaha “memonopoli” idea dan aqidah kita. Kita gusar apabila ada orang lain yang menganutnya. Kita juga keras meyakinkan orang bahawa ia milik kita dan bahawa orang itu merebutnya dari kita. Sesungguhnya tindak-tanduk semua itu kita lakukan, pada waktu keimanan kita terhadap idea dan aqidah itu sedang rapuh, ia tidak keluar dari hati nurani kita, seperti juga ia tidak muncul ke permukaan tanpa kemahuan kita, dan ketika idea dan aqidah itu bukan merupakah hal yang paling kita cintai lebih dari diri kita sendiri.
 

Sebenarnya sukacita yang murni merupakan akibat wajar, karena kita melihat idea dan aqidah kita menjadi milik orang lain, apalagi kalau itu terjadi ketika kita masih hidup. Sedang suatu perhitungan saja bahawa ia akan menjadi sesudah kita meninggalkan permukaan bumi ini, bekal anutan yang memberikan rasa kepuasan kepada orang lain, sudah cukup meluapkan hati kita dengan suka cita, kebahagiaan dan ketenangan.

Pedagang sajalah yang berusaha keras menjalankan segalanya atas dasar “hubungan dagang” bagi komoditi mereka supaya jangan dieksploitasi orang lain, dan supaya hak dari laba atau keuntungan mereka jangan jatuh ke pihak lain. Namun bagi para pemikir dan penyandang aqidah, kebahagiaan mereka justeru terletak pada saat orang banyak boleh menikmati pemikiran dan aqidahnya. 


Kedua hal ini diimaninya dan kemudian dinyatakan sebagai milik mereka juga, bukan milik orang yang pertama saja. Mereka tidak mempunyai rasa bahawa merekalah “pemilik” idea dan aqidah itu. Mereka hanya menyatakan sebagai “penghubung” dalam memindahkan dan menterjemahkannya. Mereka merasa bahawa sumber dari mana ia ditimba bukan ciptaan mereka, dan bukan karya tangan mereka. Namun tulusnya mereka, kerana mereka terlibat langsung dengan sumber aslinya. Bezanya jauh, jauh sekali, bagaikan beza memahami hakikat dan menyedari hakikat. Yang pertama ilmu, sedangkan yang kedua ma’rifat (pengenalan).

Dalam yang pertama, kita berurusan dengan kata-kata dan erti semata, atau dengan percubaan yang terbatas. Sedangkan dalam yang kedua kita berurusan dengan sambutan hidup dan kesempurnaan yang cukup baik serta mutlak. Dalam yang pertama, pengetahuan itu datang kepada kita dari luar diri, kemudian ia datang dalam akal kita, tetapi terpisah dari diri dan nurani kita. Sedangkan dalam yang kedua, hakikat itu muncul dari kedalaman batin kita. Ia mengalirkan darah yang dialirkan oleh urat nadi dan jaringan tubuh kita, yang pancarannya beraturan bersama dengan debakan jiwa kita.


Dalam yang pertama, terdapat ruangan dan judul-judul. Ruangan ilmu, lengkap dengan judul-judul artikel yang aneka rupa. Ruangan agama, dengan judul-judul, pasal pasal dan bab-babnya. Begitu pula ruangan seni, dibawahnya terdapat judul-judul, metod dan lengkap dengan arah tujuannya. Sedangkan dalam hal yang kedua, terdapat kekuatan tunggal berhubungan dengan kekuatan alam raya ini, disana terdapat banyak anak sungai yang mengalir, yang bersumber dari satu mata air yang murni.

0 comments:

Post a Comment

Aku Wanita....